Siapa yang suka bercerita dengan bangga sekaligus miris tentang dirinya “disebut” sebagai pemberontak? Ya itulah kakekku, kakaknya nenek yang paling tua. Ketika aku ngobrol dengannya, yang biasanya berawal dari ngobrol tentang apapun, pasti ujung-ujungnya akan sampai juga ke kisahnya waktu muda jaman PRRI.

Syarifudin Prawiranegara. bukan, bukan dia kakekku >_<

Bercerita tentang adik-adiknya yang pergi masuk hutan untuk “berperang” dan dia yang tetap tinggal di rumah sehingga mengakibatkan jadi bulan-bulanan tentara pusat yang waktu itu disebut juga “Tentara Sukarno”. Entah mengapa aku selalu ikut semangat ketika mendengar ceritanya, dan karena melihat antusiasku dia menjadi semakin ingin melanjutkan ceritanya.

Ditambah lagi keluarga kami yang katanya adalah keluarga Masyumi, menambah imbas penderitaannya sebagai keluarga pemberontak. Istilahnya adalah “tawanan kampung”, gerak geriknya diawasi, rumah dikasih tanda silang gede di pintunya dan di penjuru rumah dikasih lampu sorot yang mengarah ke tengah menerangi rumah untuk memantau siapa yang datang dan pergi dari rumah.

Pekerjaan kakek sebenarnya adalah sebagai guru pegawai negeri, di awal penempatan di Gorontalo selama 3 tahun sering membuatnya sakit-sakitan, mungkin karena tidak cocok udara panas katanya, dan juga karena di sana makanan full kolesterol sehingga kesehatannya ngedrop. Akhirnya dia pulang sebentar ke kampung dan berniat mengurus pindah kerja. Permintaan itu akhirnya diloloskan dan dia mendapat surat kepindahan ke Magetan. Padahal belum berangkat waktu itu, namun daerah Minang sudah dikepung oleh tentara pusat di lautan. Kemudian sesudah itu terjadi penyerangan sehingga mahasiswa-mahasiswa dan pemuda “pejuang” berlarian ke hutan. Pergi berperang, itulah istilahnya jaman dulu.

Karena itu jugalah kakek terpaksa harus ke sawah lagi, beralih profesi yang semula dari guru. Dia tidak bisa mendaftarkan kepegawaiannya karena dicap pemberontak. Semua surat-suratnya tidak diakui. Kesalahan dia di awal juga sih, ketika pernah ada woro-woro semua pegawai disuruh mendaftar ulang dia tak mau melakukannya, gara-gara idealisme terhadap PRRI, hihihi. Walaupun sesudah beberapa lama surat-surat itu bisa diakui kembali dan dia kembali berprofesi menjadi guru, namun itu membutuhkan perjuangan yang cukup panjang. Bahkan  harus sampai ke Medan dan Jakarta.

Dia juga selalu menceritakan satu kejadian genting ketika rumah kami dikepung tentara yang mendapat kabar  burung bahwa adik kakek yg pejuang digosipkan sedang pulang ke rumah, keluar dari hutan. Ketika kakek mengintip keluar rumah ternyata benar, tentara pusat sudah berada di sekeliling rumah untuk menyergap. Adiknya yang waktu itu memang pulang dengan menyelinap masuk rumah malam-malam bersama beberapa temannya bersenjata lengkap (wuiih keren) akhirnya melarikan diri. Dengan krukupan sarung merayap di sisi tebing yang ditumbuhi rimbunan pohon bambu yang ada di belakang rumah, untuk mencari tempat sembunyi. Alhamdulillah selamat. Karena kata kakek kalau kedapatan seperti itu mah biasanya sudah langsung tembak di tempat aja, serem gak sih… bergidik.

Itulah 3,5 tahun yang selalu ingat dan sering diceritakan kakek. Diceritakan dengan sedih karena dia selalu teringat susahnya hidup jaman itu tapi sekaligus bangganya dengan nilai perjuangan yang dia yakini. Makanya saya sangat memaklumi ketidaksukaan dia terhadap Sukarno dan..yah partai yang sedang naik daun waktu itu. Belum lagi cerita lain mengiringi kehidupan sebagai “keluarga pemberontak” yang juga dialami oleh anggota keluarga yang lain. Ah…masa itu sesuatu sekali ya…

Sabar ya kek.. puk puk